Saya pernah dengar cerita, “Kalau kamu sedang melakukan taruhan di pacuan kuda dan kamu melihat dari 10 kuda yang bertanding, A adalah kuda dengan lari tercepat dan E adalah kuda dengan lari terlambat. Jika saat itu kamu bertaruh sebesar 1 X dan diberikan kesempatan untuk menaikkan size bet mu, maka kamu akan memilih menaruh posisi bet kamu pada kuda A atau E yang akan memenangkan pertandingan tersebut?”. Dengan asumsi seperti ini, mudah bagi kita untuk memilih kuda A yang memiliki record lari tercepat lah yang memiliki kemungkinan lebih besar dalam memenangkan sebuah pertandingan pacuan kuda.
Kita semua pastinya ingin memenangkan pertandingan ataupun
apapun permainan yang kita lakukan. Dalam contoh pertandingan pacuan kuda, rasanya
kita sama-sama sepakat memilih pilihan yang sama. Namun saya berefleksi dalam bertransaksi
pada bursa saham, seberapa sering saya memilih pilihan yang tepat berdasarkan
dari performanya? Atau sering saya jatuh cinta kepada saham tertentu, karena sudah
memiliki ikatan emosi atau keyakinan buta terhadap saham tersebut? Misalnya
karena saya percaya influencer yang bilang saham tersebut akan tetap naik meskipun
pada faktanya sekarang sedang merosot turun. Ataupun ketika saya percaya produk
dari saham tersebut akan terus digunakan dari waktu ke waktu oleh masyarakat
pada umumnya, meskipun secara data penjualan dan harga sahamnya terus merosot
jauh. Pengalaman pahit saat itu membeli WSBP, sekarang sahamnya tertidur sudah
5 tahun. Bahasa yang awam di dengar adalah : Averaging down on the losers.
Ketika sebuah harga saham turun dari RP 10.000 menjadi Rp
8.000, apakah psikologi kita merasa lebih bahagia? Wah, kita dapat barang
dengan harga yang lebih murah. Challenge saya adalah apakah kita murni
mengetahui 100% keseluruhan alasan kenapa market voting harga saham tersebut
jadi turun. Kalau kita tau, maka go ahead – it’s a great opportunity! Dengan
kita average down – double, maka harga perolehan kita yang tadinya Rp 10.000
sekarang menjadi Rp 9.000. Namun satu hal yang perlu kita sadari dengan baik
adalah, kita akhirnya memiliki 2x dari jumlah saham sebelumnya dan artinya 2x
juga resiko yang kita tanggung selanjutnya. Kalau saham itu tiba-tiba berbalik arah
uptrend, bersyukur kita sorak sorai bersama. Tapi bagaimana dengan scenario kalau
dari harga Rp 8.000 dan akhirnya turun ke Rp 3.000. Apakah kita siap dengan
resiko double yang kita tanggung tersebut? Saya menyadari hal ini terutama pada
high growth stock, berbeda aliran dengan value stock yang sering kali cukup
stabil dan sustainable dalam jangka panjang.
Jadi filosofi ini juga bisa dibawa dalam aspek hidup,
seberapa sering kamu mengupayakan sesuatu yang sudah jelas-jelas tidak berpihak
pada dirimu. Tetap pada relationship yang toxic? Tetap pada pekerjaan yang kamu
tidak sukai namun selalu berharap “mau mau mau” yang enak-enaknya saja? Apapun
keputusannya silahkan saja. Namun yang pasti, saya perlu sadar dengan pilihan
saya didasari oleh logika atau hanya emosi semata. Terkait pembahasan saat ini,
kamu juga bisa baca lebih jauh mengenai sunk cost fallacy bias berdasarkan perspektif
psikologi.
Komentar
Posting Komentar